SEDEKAH UNTUK ORANG TUA YANG TELAH MENINGGAL DUNIA[1]
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Sedekah yang dikeluarkan seorang anak untuk salah satu atau untuk kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia, maka pahalanya akan sampai kepada keduanya. Selain itu segala amal shalih yang diamalkan anaknya maka pahalanya akan sampai kepada kedua orang tuanya tanpa mengurangi pahala si anak tersebut, sebab si anak merupakan hasil usaha kedua orang tuanya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. [an-Najm/53:39].
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَطْـيَبَ مَـا أَكَـلَ الرَّجُلُ مِـنْ كَـسْبِهِ ، وَإِنَّ وَلَـدَهُ مِنْ كَسْبِـهِ.
Sesungguhnya sebaik-baik apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya anaknya adalah hasil usahanya.[2]
Apa yang ditunjukkan oleh ayat al-Qur`ân dan hadits di atas diperkuat lagi oleh beberapa hadits yang secara khusus membahas tentang sampainya manfaat amal shalih sang anak kepada orang tua yang telah meninggal, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak, dan lain-lain semisalnya. Hadits-hadits tersebut ialah:
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أُمّـِيْ افْـتُـلِـتَتْ نَـفْسُهَا (وَلَـمْ تُوْصِ) فَـأَظُنَّـهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَـهَلْ لَـهَا أَجْـرٌ إِنْ تَـصَدَّقْتُ عَنْهَا (وَلِـيْ أَجْـرٌ)؟ قَالَ: «نَعَمْ» (فَـتَـصَدَّقَ عَـنْـهَا).
Bahwasanya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara tiba-tiba (dan tidak memberikan wasiat), dan aku mengira jika ia bisa berbicara maka ia akan bersedekah, maka apakah ia memperoleh pahala jika aku bersedekah atas namanya (dan aku pun mendapatkan pahala)? Beliau menjawab, “Ya, (maka bersedekahlah untuknya).”[3]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ سَعْـدَ بْنَ عُـبَـادَةَ -أَخَا بَـنِـيْ سَاعِدَةِ- تُـوُفّـِيَتْ أُمُّـهُ وَهُـوَ غَـائِـبٌ عَنْهَا، فَـقَالَ: يَـا رَسُوْلَ اللّٰـهِ! إِنَّ أُمّـِيْ تُـوُفّـِيَتْ، وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا، فَهَلْ يَنْـفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ بِـشَـيْءٍ عَنْهَا؟ قَـالَ: نَـعَمْ، قَالَ: فَـإِنّـِيْ أُشْهِـدُكَ أَنَّ حَائِـطَ الْـمِخْـرَافِ صَدَقَـةٌ عَلَـيْـهَا.
Bahwasanya Sa’ad bin ‘Ubadah –saudara Bani Sa’idah– ditinggal mati oleh ibunya, sedangkan ia tidak berada bersamanya, maka ia bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya ibuku meninggal dunia, dan aku sedang tidak bersamanya. Apakah bermanfaat baginya apabila aku menyedekahkan sesuatu atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Sesungguhnya aku menjadikan engkau saksi bahwa kebun(ku) yang berbuah itu menjadi sedekah atas nama ibuku.”[4]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ أَبِـيْ مَاتَ وَتَـرَكَ مَالًا، وَلَـمْ يُـوْصِ، فَهَلْ يُـكَـفّـِرُ عَنْـهُ أَنْ أَتـَصَدَّقَ عَنْـهُ؟ قَالَ: نَـعَمْ.
“Sesungguhnya ayahku meninggal dunia dan meninggalkan harta, tetapi ia tidak berwasiat. Apakah (Allâh) akan menghapuskan (kesalahan)nya karena sedekahku atas namanya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam men-jawab, “Ya.”[5]
Imam asy-Syaukani t berkata, “Hadits-hadits bab ini menunjukkan bahwa sedekah dari anak itu bisa sampai kepada kedua orang tuanya setelah kematian keduanya meski tanpa adanya wasiat dari keduanya, pahalanya pun bisa sampai kepada kedua-nya. Dengan hadits-hadits ini, keumuman firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikut ini dikhususkan:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. [an-Najm/53:39].
Tetapi, di dalam hadits tersebut hanya menjelaskan sampainya sedekah anak kepada kedua orang tuanya. Dan telah ditetapkan pula bahwa seorang anak itu merupakan hasil usahanya sehingga tidak perlu lagi mendakwa ayat di atas dikhususkan oleh hadits-hadits tersebut. Sedangkan yang selain dari anak, maka menurut zhahir ayat-ayat al-Qur`ân, pahalanya tidak akan sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia. Maka hal tersebut tidak perlu diteruskan hingga ada dalil yang mengkhususkannya.[6]
Syaikh al-Albani rahimahullah mengomentari pernyataan di atas dengan berkata, “Inilah pemahaman yang benar yang sesuai dengan tuntutan kaidah-kaidah ilmiah, yaitu bahwa ayat al-Qur`ân di atas tetap dengan keumumannya, sedangkan pahala sedekah dan lain-lainnya tetap sampai dari seorang anak kepada kedua orang tuanya, karena ia (anak) hasil dari usahanya, berbeda dengan selain anak…”[7]
Adapun pengiriman pahala bacaan al-Qur`ân, Yasin, al-Fâtihah, kepada orang yang sudah meninggal maka tidak akan sampai, karena semua riwayat-riwayat hanya menyebutkan tentang sampainya pahala sedekah anak kepada orang tua (bukan bacaan al-Qur`ân). Berdasarkan ayat:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. [an-Najm/53:39].
Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseorang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, kecuali apa yang didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam asy-Syafi’i dan orang (para ulama) yang mengikuti beliau beristinbat (mengambil dalil) bahwa mengirimkan pahala bacaan al-Qur`ân tidak sampai kepada si mayit karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyunnahkan ummatnya (mengirimkan pahala bacaan al-Qur`ân kepada mayyit) dan tidak pernah mengajarkan kepada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak pula dengan isyarat. Dan tidak pernah dinukil ada seorang sahabat pun yang melakukan demikian. Seandainya hal itu (menghadiahkan pahala bacaan al-Qur`ân kepada mayit) adalah baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan yang baik itu. Tentang bab amal-amal qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) hanya dibolehkan berdasarkan nash (dalil/contoh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan tidak boleh memakai qiyas atau pendapat.”[8]
Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam asy-Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin (X/369)[9].
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footnote
[1]. Lihat Ahkâmul-Janâ-iz, hlm. 216-219 dan az-Zakâh fil-Islâm, hlm. 597-600.
[2]. Shahîh, HR Ahmad (VI/41, 126, 162, 173, 193, 201, 202, 220), Abu Dawud (no. 3528), at-Tirmidzi (no. 1358), an-Nasa-i (VII/241), Ibnu Majah (no. 2137), dan al-Hakim (II/46).
[3]. Shahîh, HR al-Bukhari (no. 1388), Muslim (no. 1004), Ahmad (VI/51), Abu Dawud (no. 2881), an-Nasa-i (VI/250), Ibnu Majah (no. 2717), dan al-Baihaqi (IV/62; VI/277-278).
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata dalam Ahkâmul-Janâ-iz (hlm. 217), “Redaksi ini milik al-Bukhari di salah satu dari dua riwayatnya, tambahan yang terakhir adalah miliknya dalam riwayat lain. Juga Ibnu Majah dimana tambahan kedua miliknya, sedangkan tambahan pertama milik Muslim.”
[4]. Shahîh. HR al-Bukhari (no. 2756), Ahmad (I/333, 370), Abu Dawud (no. 2882), at-Tirmidzi (no. 669), an-Nasa-i (VI/252-253), dan al-Baihaqi (VI/ 278). Lafazh ini milik Ahmad.
[5]. Shahîh. HR Muslim (no. 1630), Ahmad (II/371), an-Nasa-i (VI/252), dan al-Baihaqi (VI/278).
[6]. Nailul-Authâr, Cet. Dâr Ibnil-Qayyim, V/184.
[7]. Ahkâmul-Janâ-iz, hlm. 219.
[8]. Tafsîr Ibni Katsir (VII/465) tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah. Dan lihat Ahkâmul-Janâ-iz wa Bida’uhâ, Cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, hlm. 220
[9]. Lihat Ahkâmul-Janâ-iz, hlm. 220.