Tuesday, October 20, 2015

KISAH INDAH YANG PENUH KESABARAN : Abu Qilabah

Abu Ibrahim bercerita:

Suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas… kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yg duduk di atas tanah dengan sangat tenang…

Ternyata orang ini kedua tangannya buntung… matanya buta… dan sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat..
Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:
الحَمْدُ لله الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً .. الحَمْدُ للهِ الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَق تَفْضِيْلاً ..
Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia… Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia…
Aku heran mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh… ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi… kedua tangannya buntung… matanya buta… dan ia tidak memiliki apa-apa bagi dirinya…
Kuperhatikan kondisinya sambil mencari adakah ia memiliki anak yg mengurusinya? atau isteri yang menemaninya? ternyata tak ada seorang pun…
Aku beranjak mendekatinya, dan ia merasakan kehadiranku… ia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”
“Assalaamu’alaikum… aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini” jawabku, “Tapi kamu sendiri siapa?” Tanyaku.
“Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, dan kerabatmu? Lanjutku.
“Aku seorang yang sakit… semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal…” Jawabnya.
“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan: “Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia…!! Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir, buntung kedua tangannya, dan sebatang kara…?!?” Ucapku.
“Aku akan menceritakannya kepadamu… tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” Tanyanya.
“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu.” Kataku.
“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami dan berfikir…?
“Betul.” jawabku. Lalu katanya, “Berapa banyak orang yang gila?”
“Banyak juga.” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia.” Jawabnya.
“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya.
“Iya benar.” Jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Jawabnya.
“Betapa banyak orang yang tuli tak mendengar…?” Katanya.
“Banyak juga…” Jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Katanya.
“Bukankah Allah memberiku lisan yg dengannya aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” Tanyanya.
“Iya benar” jawabku. “Lantas berapa banyak orang yg bisu tidak bisa bicara?” Tanyanya.
“Wah, banyak itu.” Jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas orang banyak tersebut.”  Jawabnya.
“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya… mengharap pahala dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?” Tanyanya.
“Iya benar.” Jawabku. Lalu katanya, “Padahal berapa banyak orang yg menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat…!!”
“Banyak sekali.” Jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Katanya.
Pak tua terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu… dan aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah…
Betapa banyak pesakitan selain beliau, yg musibahnya tidak sampai seperempat dari musibah beliau… mereka ada yg lumpuh, ada yg kehilangan penglihatan dan pendengaran, ada juga yg kehilangan organ tubuhnya… tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis sejadi-jadinya… mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan Allah atas musibah yg menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar…
Aku pun menyelami fikiranku makin jauh… hingga akhirnya khayalanku terputus saat pak tua mengatakan:
“Hmmm, bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang… maukah kamu mengabulkannya?”
“Iya.. apa permintaanmu?” Kataku.
Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis.. ia berkata: “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 14 tahun… dia lah yang memberiku makan dan minum, serta mewudhukan aku dan mengurusi segala keperluanku… sejak tadi malam ia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja… dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak bisa mencarinya…”
Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan bocah tersebut untuknya…
Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana mencari bocah tersebut… aku tak tahu harus memulai dari arah mana…
Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si bocah, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah si pak tua.
Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yg mengerumuni sesuatu… maka segeralah terbetik di benakku bahwa burung tersebut tidak lah berkerumun kecuali pada bangkai, atau sisa makanan.
Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.
Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas dengan badan terpotong-potong… rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung…
Aku lebih sedih memikirkan nasib pak tua dari pada nasib si bocah…
Aku pun turun dari bukit… dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam…
Haruskah kutinggalkan pak Tua menghadapi nasibnya sendirian… ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?
Aku berjalan menujuk kemah pak Tua… aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana?
Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalaam… maka kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yang malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya… ia mendahuluiku dengan bertanya: “Di mana si bocah?”
Namun kataku, “Jawablah terlebih dahulu… siapakah yang lebih dicintai Allah: engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”
“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah” jawabnya.
“Lantas siapakah di antara kalian yg lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.
“Tentu Ayyub…” jawabnya.
“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah karena aku mendapati anakmu telah tewas di lereng gunung… ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya…” jawabku.
Maka pak Tua pun tersedak-sedak seraya berkata, “Laa ilaaha illallaaah…” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya… namun sedakannya semakin keras hingga aku mulai menalqinkan kalimat syahadat kepadanya… hingga akhirnya ia meninggal dunia.
Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yg ada di bawahnya… lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya…
Maka kudapati ada tiga orang yg mengendarai unta mereka… nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku…
Kukatakan, “Maukah kalian menerima pahala yang Allah giring kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yg mengurusinya… maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”
“Iya..” Jawab mereka.
Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat pak Tua untuk memindahkannya… namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak, “Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”
Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh…
Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah…
Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah… ia mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna… ia berjalan-jalan di tanah yang hijau… maka aku bertanya kepadanya:
“Hai Abu Qilabah… apa yg menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”
Maka jawabnya: “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:
( سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار )
Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu… maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali
Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian.
Diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify.

ORANG YANG SHOLEH DAN BERTAKWA SERTA BERHATI-HATI

Kisah ‘Atha’ bin Yasar

Suatu ketika ‘Atha bin Yasar dan Sulaiman bin Yasar keluar dari kota Madinah untuk menunaikan ibadah Haji bersama sahabat-sahabat mereka. Sehingga ketika mereka telah berada di ‘Abwa mereka singgah ditempat persinggahan mereka. Sulaiman bin Yasar dan para sahabatnya pergi untuk memnuhi kebutuhan mereka, dan tinggallah ‘Atha’ sendirian melaksanakan shalat. Ketika itu masuklah ke tempat persinggahan ‘Atha’ seorang wanita Arab yang cantik. Ketika ‘Atha’ merasakan kehadiran wanita itu, ‘Atha’ mengira bahwa wanita itu punya keperluan, maka ‘Atha’ pun memperingan shalatnya.
Ketika ‘Atha’ telah selesai shalat, ‘Atha’ bertanya kepada wanita itu :
“Apakah engkau punya keperluan”
Wanita itu menjawab :
“Ya”
‘Atha’ bertanya lagi :
“Apa keperluanmu itu ?”
Wanita itu berkata :
“Berdirilah, lalu curahkanlah kasih sayangmu kepadaku ! sesungguhnya aku seorang wanita yangtelah menyukai laki-laki dan saya tidak punya suami”.
‘Atha’ berkata :
“Menjauhlah engkau dariku ! Janganlah engkau membakar aku dan dirimu dengan api neraka !”
Lalu wanita itu berusaha merayu dan menggoda ‘Atha’ dan tetap bersiteguh untuk memenuhi apa yang diinginkannya. Maka mulailah ‘Atha’ menangis seraya berkata :
“Menjauhlah engkau dariku ! Menjauhlah engkau dariku !”
Tangisan ‘Atha’ makin lama makin keras. Ketika wanita cantik itu melihat ‘Atha’ dan melihat tangisan serta kecemasan yang menimpa ‘Atha’, menangislah wanita itu mengiringi tangisan ‘Atha’. Di saat ‘Atha dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Sulaiman bin Yasar pulang memenuhi keperluannya.
Ketika Sulaiman melihat ‘Atha’ sedang menangis, dan seorang wanita dihadapannya sedang menangis disudut rumah, Sulaiman pun menangis mengikuti tangisan keduanya padahal Sulaiman tidak tahu apa yang menyebabkan keduanya menangis.
Setelah itu datanglah sahabat-sahabat ‘Atha’ dan Sulaiman satu persatu. setiap kali seorang sahabat itu datang ke tempat persinggahan mereka lalu melihat mereka sedang menangis, maka sahabat itu pun duduk sambil menangis karena mendengar tangisan mereka tanpa menanyakan tentang urusan mereka, sehingga tangisan pun meluas dan suara tangisan terdengar keras.
Ketika wanita Arab itu menyaksikan keadaan seperti itu, ia pun berdiri lalu pergi keluar dan berdirilah para sahabat ‘Atha’ lalu masuk ke dalam.  Sulaiman terdiam setelah itu dan dia tidak menanyakan apa-apa kepada saudaranya (‘Atha’) tentang kisah wanita itu karena merasa hormat dan segan.
Kemudian keduanya datang ke Mesir untuk memenuhi sebagian kebutuhan mereka. Keduanya tinggal di Mesir sepanjang waktu selama waktu yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pada suatu malam ‘Atha terbangun dalam keadaan menangis. Sulaiman bertanya kepadanya,
“Apa yang membuatmu menangis, wahai saudaraku?”
Berkata ‘Atha,
“Aku telah bermimpi tadi malam.”
Sulaiman berkata,
“(Mimpi) apakah itu?”
Berkata ‘Atha,
“Syaratnya, jangan engkau ceritakan mimpi ini kepada siapapun selama aku masih hidup.”
Berkata Sulaiman,
“Akan kupenuhi syaratmu.”
Berkata ‘Atha,
“Aku melihat Nabi Yusuf ‘alaihissalaam di dalam mimpi. Maka aku pun mendatangi beliau untuk melihatnya, maka aku (kagum) melihat ketampanan beliau maka aku pun menangis. Maka beliau melihatku di tengah kerumunan orang banyak lalu beliau berkata, ‘Mengapa engkau menangis wahai laki-laki?”
Aku (‘Atha) berkata,
“Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu wahai Nabiyallaah. Aku teringat (kisah) engkau dengan istri Al-Aziz dan ujian yang menimpa anda dari perkara wanita tersebut. Dan apa yang anda jumpai di penjara. Dan perpisahanmu dengan ayahanda Ya’qub yang sudah berusia lanjut. Aku menangis karena mengingat akan hal itu dan itulah yang membuatku kagum.”
Berkata Nabi Yusuf ‘alaihissalaam,
“Mengapa engkau tidak kagum terhadap pemilik (kisah dengan) seorang wanita badui di ‘Abwa?” Aku mengerti maksud beliau (Nabi Yusuf ‘alaihissalaam). Oleh sebab itu aku menangis dan terbangun dalam keadaan menangis.
Berkata Sulaiman,
“Wahai saudaraku, apakah yang sebenarnya terjadi antara engkau dengan wanita itu?”
Maka ‘Atha pun menceritakan kisahnya dengan wanita itu, kisah itu pun tidak pernah diberitahukan kepada seorangpun sampai ‘Atha wafat. Setelah ‘Atha wafat barulah salah satu dari keluarganya menceritakan kisah itu kepada orang lain.
(kisah ini bisa dilihat pada kitab Al-Atqiyaa wa Fitanun Nisaa)
Tambahan, nama lengkap ‘Atha adalah ‘Atha bin Yasar Al-Hilali Abu Muhammad Al-Madani Al-Qadhi. Seorang mantan budak Maimunah, seorang yang faqih dan banyak meriwayatkan hadits, wafat tahun 103 H dalam usia 84 tahun di Mesir.

KISAH ORANG-ORANG SHOLEH TERDAHULU

Seorang Wali Allah menceritakan, “Satu ketika pada musim yang sangat panas aku pergi haji, tatkala aku tiba di padang pasir Hijaz Tengah, aku telah terpisah dari kafilahku dan tersesat dijalan, aku tertidur. Ketika aku bangun, aku melihat seseorang tidak jauh dari situ, aku berlari kearahnya. Dia adalah seorang yang masih sangat muda yang janggutnyapun belum tumbuh. Dia adalah seorang remaja yang sangat tampan. Ketika aku memberi salam kepadanya, dia menjawab, “Wa’alaikumus salam, wahai Ibrahim.” Ketika Ia menyebut namaku, aku sangat bingung dan heran. Aku pun bertanya kepadanya, “Anak muda yang kuhormati, bagaimana engkau tahu namaku?”
Dia menjawab, “Sejak aku memperoleh Ilmu Allah ( Ma’arifat), aku tidak jahil dan sejak aku bersama-sama dengan-Nya aku tidak pernah meninggalkan-Nya.”
Aku bertanya, “Apa yang menyebabkan kamu kemari dalam keadaan padang pasir sangat panas begini?
Dia menjawab, “Wahai Ibrahim, selain Dia aku tidak mencintai siapapun, tidak pula aku jadikan sebagai kawan dan sahabatku. Sekarang aku sepenuhnya menghadap-Nya dan hanya Dia yang aku pikirkan dan Dialah yang layak untuk disembah.
Aku bertanya, “dari mana datangnya makanan dan minumanmu?”
Dia menjawab, “Kekasihku telah menjaminnya.”
Aku berkata, “Demi Allah, aku takut kebinasaan menimpamu dalam keadaan seperti ini.”
Kemudian matanya digenangi air mata yang nampak bagaikan mutiara tatkala air mata itu membasahi pipinya. Dia berkata, “Siapakah yang dapat menakutkan aku dengan kebinasaan di padang pasir ini maupun mara bahayanya. Sedangkan aku mengembara kesini kearah cintaku  yang pada-Nya terletak keyakinanku? Cintaku kepada-Nya menjadikan aku resah dan kerinduanku telah membuatku berjalan kedepan.’
Siapa yang mencintai Allah, maka Ia tidak akan takut kepada siapapun. Apabila kepedihan lapar benar-benar tiba, aku mengisi diriku dengan dzikir (mengingat-Nya). Dan tatkala aku melagukan puji-pujian-Nya, tidak ada dahaga yang dapat menyentuhku. Dan apabila aku lemah, cinta-Nya akan membawaku dari hijaz ke Khurasan. Jadi janganlah menuduh atas kemudaanku, karena apa yang akan terjadi telah datang.”
Aku bertanya, “Demi Allah, berapakah usiamu yang sebenarnya?”
Dia menjawab, “Sesungguhnya anda telah diberi janji oleh seseorang yang sesungguhnya orang tersebut sangat tinggi kedudukannya dalam pandanganku. Usiaku dua belas tahun. Wahai Ibrahim, mengapa anda bertanya tentang usiaku?”
Aku menjawab, “aku bertanya demikian, karena kata-katamu sungguh menakjubkan dan mempesonakanku.”
Dia berkata, “Segala Puji bagi Allah yang telah mengaruniakan nikmat-nikmat yang besar, dan melalui nikmat-nikmat-Nya yang khusus, dia telah menjadikan sebagian hamba-Nya lebih tinggi derajatnya daripada yang lain.”
Selanjutnya Ibrahim rah.a. berkata, “Kata-kata indah dan penuh hikmah yang diucapkan oleh anak muda yang sangat tampan dan mulia ini sungguh menakjubkan aku.” Aku pun berkata, “Segala puji bagi Allah, betapa indahnya makhluk yang diciptakan-Nya.” Untuk seketika dia menundukkan kepalanya. Kemudian Ia mengangkat wajahnya, lalu memperhatikanku dengan sungguh-sungguh dan membaca rangkaian kalimat berikut ini,
“Jika aku masuk neraka, maka aku akan binasa. Jadi apakah gunanya keceriaan dan keindahanku, kalau nilai-nilai baik zahiriyahku menjadi sebab tinggalnya aku dalam azab dan neraka. Dalam keadaan memekik dan meraung aku akan mendiami neraka. Dan Allah berfirman, ‘Wahai kamu hamba yang sangat buruk! Terhadap-Ku kamu berdosa dan tehadap-Ku kamu menentang.perintah-Ku disia-siakan dan perjanjian-Ku kamu lupakan. Dan begitu juga kamu melupakan pertemuanmu dengan-Ku.”
Dia meneruskan:
“Wahai Ibrahim, kamu akan lihat pada hari itu ketika wajah-wajah orang  yang shaleh akan berseri bersinar seumpama bulan purnama, ketika Allah akan mengangkat dari diri-Nya tirai cahaya. Kemudian orang yang taat akan tertegun kaku di dalam ketakjuban yang tidak ada nikmat yang dapat memberikan kegembiraan pada saat itu. Kemudian barulah Allah menutupi orang-orang yang taat itu dengan kegembiraan, sementara wajah-wajah mereka akan bersinar-sinar penuh kegembiraan.”
Kemudian Dia berkta:
“Sungguh tersingkir dia yang terpisah dari rekan-rekan, dan siapa saja yang beserta Tuhannya sungguh dia beruntung.
Kemudian dia berkata kepadaku, “Wahai Ibrahim, apakah tuan tertinggal di belakang setelah kehilangan sahabat-sahabat sepengembaraan?” aku menjawab, “Ya, aku tertinggal di belakang. Aku mohon engkau berdo’a untukku, supaya aku dapat bertemu kembali dengan kawan-kawanku.”
Dia menghadapkan wajahnya ke langit dan dengan lembutnya membisikkan beberapa kata seolah-olah berdo’a. tiba-tiba aku merasa mengantuk atau pun sesuatu keadaan tidak sadar menguasaiku. Ketika aku kembali membuka mataku, tiba-tiba aku berada diatas untaku berjalan di tengah kawan-kawanku dalam kafilah. Aku mendengar sahabatku berkata kepadaku, “Jaga dan berhati-hatilah supaya kamu tidak jauh dari untamu.” Tidak terdapat tanda-tanda kehadiran anak muda tersebut. Ketika kami memasuki Makkah, aku lihat dia bergantung pada kain ka’bah sambil membaca ungkapan kalimat berikut ini:
“Aku telah datang untuk menziarahi rumah ini dan gembira sekali memegang kain ka’bah.” Tetapi rahasia dan perkataan mendalam yang terdapat dalam hati hanyalah Engkau yang mengetahuinya. Aku datang dengan berjalan kaki, tanpa kendaraan, walaupun didalam kemudaanku aku sedang jatuh cinta. Sejak bayi ketika aku belum mengerti arti inta, namun cintaku kepada-Mu telah melimpah. Dan ketika mereka memarahiku karena cinta itu, maka biarkanlah aku sebagai bayi didalam bercinta, Tuhan ketika maut mengunjungiku, tentukan bahwa aku bersama-Mu.
Kemudian dia turun untuk sujud dengan penuh gembira dan berada dalam keadaan demikian untuk waktu yang sangat panjang  sedangkan aku melihatnya. Setelah beberapa lama aku pergi kepadanya, menggoncang-goncangkan badannya dan dengan terperanjat aku dapati dia telah meninggal dunia.
Ibrahim rah.a. berkata, “Dengan kematiannya aku merasa sangat berduka cita. Aku bergegas ke rumahku untuk mengambil sehelai kain kafan ditemani dua orang pembantu untuk menolongku mengebumikannya. Ketika aku tiba ditempat jenazahnya yang aku tinggalkan, aku tidak menemukan sesuatu pun disitu. Aku bertanya-tanya, tetapi tidak seorang haji pun yang dapat memberitahuku. Akhirnya aku mengetahui bahwa Allah telah menyembunyikan jasadnya dari pandangan manusia. Aku pun kembali kerumah dan ketika aku tertidur, aku bermimpi. Di dalam mimpiku aku melihat dia sedang berada dihadapan kerumunan orang yang sangat banyak. Dia begitu gagah dan tampan berseri-seri seumpama bulan purnama.”
Aku bertanya kepadanya, “Bukankah kamu telah mati?”
Dia menjawab, “Ya, sesungguhnya aku telah mati.”
Aku berkata, “Aku telah mencari mayatmu, supaya aku dapat mengafani dan mengebumikanmu, tetapi aku tidak menemukannya.”
Dia menjawab, “Wahai Ibrahim, aku telah dikafani dan dikebumikan oleh-Nya yang telah membawa keluar dari tempat lahirku, menjadikan aku mencintai-Nya dan memisahkan aku dari keluargaku yang dikasihi. Dan Dia telah menjadikan aku tidak menghendaki pertolongan siapa pun.”
Aku bertanya, “Dan apa yang telah Allah lakukan kepadamu?”
Dia menjawab, “sesungguhnya Allah membawaku kehadapan-Nya dan bertanya apakah yang aku inginkan.”
Aku menjawab, “Engkaulah tujuan pencarianku.” Kemudian Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu adalah hamba-Ku yang sejati dan tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangimu dari memperoleh apa yang kamu inginkan. Mintalah! Niscaya Aku berikan kepadamu.” Aku menjawab, “Wahai Allah, aku ingin supaya Engkau menerima syafaatku bagi setiap orang yang hidup pada saat ini.” Allah mengaruniakanku dengan-Nya.”
Ibrahim rah.a. berkata, “Kemudian anak muda ini dala mimpiku meninggalkan aku dan menjabat tanganku hingga aku pun terbangun. Aku menyempurnakan hajiku tetapi tidak dapat melupakan anak muda itu dari pikiranku. Apabila aku mengingatnya, aku sangat gelisah. Dalam keadaan pikiran yang masih demikian, kafilah membawaku pulang ke kampung halamanku. Sepanjang perjalanan, sahabat-sahabatku selalu bertanya kepadaku, “Wahai Ibrahim, kami takjub dan heran dengan bau harum semerbak yang datang dari tanganmu.”
Dikatakan dalam suatu riwayat yang menceritakan kisah ini, bahwa tangan Ibrahim terus harum semerbak hingga meninggalnya. (Raudhur Riyahin)

(Disadur dari buku Fadhilah Haji, karya Maulana Muhammad Zakariyya Alkandhalawi rah.a. ; 2003, 280-284). Sumber foto: net.

Sunday, October 4, 2015

KETAATAN DAN RENDAH HATI YANG DIMILIKI IMAM ABU HANIFAH

Abu Hanifah Yang Taat

Akibat menolak diangkat menjadi hakim, Abu Hanifah ditangkap. Ulama ahli hukum Islam itu pun di penjara. Sang penguasa rupanya marah besar hingga menjatuhkan hukuman yang berat.
Dalam penjara, ulama besar itu setiap hari mendapat siksaan dan pukulan. Abu Hanifah sedih sekali. Yang membuatnya sedih bukan karena siksaan yang diterimanya, melainkan karena cemas memikirkan ibunya. Beliau sedih kerena kehilangan waktu untuk berbuat baik kepada ibunya.
Setelah masa hukumannya berakhir, Abu Hanifah dibebaskan. Ia bersyukur dapat bersama ibunya kembali.
“Ibu, bagaimana keadaanmu selama aku tidak ada?” tanya Abu Hanifah.
“Alhamdulillah……ibu baik-baik saja,” jawab ibu Abu Hanifah sambil tersenyum.
Abu Hanifah kembali menekuni ilmu agama Islam. Banyak orang yang belajar kepadanya. Akan tetapi, bagi ibu Abu Hanifah ia tetap hanya seorang anak. Ibunya menganggap Abu Hanifah bukan seorang ulama besar. Abu Hanifah sering mendapat teguran. Anak yang taat itu pun tak pernah membantahnya.
Suatu hari, ibunya bertanya tentang wajib dan sahnya shalat. Abu Hanifah lalu memberi jawaban. Ibunya tidak percaya meskipun Abu Hanifah berkata benar.
“Aku tak mau mendengar kata-katamu,” ucap ibu Hanifah. “Aku hanya percaya pada fatwa Zar’ah Al-Qas,” katanya lagi.
Zar’ah Al-Qas adalah ulama yang pernah belajar ilmu hukum Islam kepada Abu Hanifah.” Sekarang juga antarkan aku ke rumahnya,”pinta ibunya.
Mendengar ucapan ibunya, Abu Hanifah tidak kesal sedikit pun. Abu Hanifah mengantar ibunya ke rumah Zar’ah Al-Qas.
“Saudaraku Zar’ah Al-Qas, ibuku meminta fatwa tentang wajib dan sahnya shalat,” kata Abu Hanifah begitu tiba di rumah Zar’ah Al-Qas.
Zar’ah Al-Qas terheran-heran kenapa ibu Abu Hanifah harus jauh-jauh datang ke rumahnya hanya untuk pertanyaan itu? Bukankah Abu Hanifah sendiri seorang ulama? Sudah pasti putranya itu dapat menjawab dengan mudah.
“Tuan, Anda kan seorang ulama besar? kenapa Anda harus datang padaku?” tanya Zar’ah Al-Qas.
“Ibuku hanya mau mendengar fatwa dari anda,” sahut Abu Hanifah.
Zar’ah tersenyum,” baiklah, kalau begitu jawabanku sama dengan fatwa putra anda,” kata Zar’ah Al-Qas akhirnya.
“Ucapkanlah fatwamu,” kata Abu Hanifah tegas.
Lalu Zar’ah Al-Qas pun memberikan fatwa. Bunyinya sama persis dengan apa yang telah diucapkan oleh Abu Hanifah. Ibu Abu Hanifah bernafas lega.
“Aku percaya kalau kau yang mengatakannya,” kata ibu Abu Hanifah puas. Padahal, sebetulnya fatwa dari Zar’ah Al-Qas itu hasil ijtihad (mencari dengan sungguh-sungguh) putranya sendiri, Abu Hanifah.
Dua hari kemudian, ibu Abu Hanifah menyuruh putranya pergi ke majelis Umar bin Zar. Lagi-lagi untuk menanyakan masalah agama. Dengan taat, Abu Hanifah mengikuti perintah ibunya. Padahal, ia sendiri dapat menjawab pertanyaan ibunya dengan mudah.
Umar bin Zar merasa aneh. Hanya untuk mengajukan pertanyaan ibunya, Abu Hanifah datang ke majelisnya.
“Tuan, Andalah ahlinya. Kenapa harus bertanya kepada saya?” kata Umar bin Zar.
Abu Hanifah tetap meminta fatwa Umar bin Zar sesuai permintaan ibunya.
“Yang pasti, hukum membantah orang tua adalah dosa besar,” kata Abu Hanifah.
Umar bin Zar termangu. Ia begitu kagum akan ketaatan Abu Hanifah kepada ibunya.
“Baiklah, kalau begitu apa jawaban atas pertanyaan ibu Anda?”
Abu Hanifah memberikan keterangan yang diperlukan.
“Sekarang, sampaikanlah jawaban itu pada ibu anda. Jangan katakan kalau itu fatwa anda,”ucap Umar bin Zar sambil tersenyum.
Abu Hanifah pulang membawa fatwa Umar bin Zar yang sebetulnya jawabannya sendiri. Ibunya mempercayai apa yang diucapkan Umar bin Zar.
Hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Ibunya sering menyuruh Abu Hanifah mendatangi majelis-majelis untuk menanyakan masalah agama. Abu Hanifah selalu menaati perintah ibunya. Ibunya tidak pernah mau mendengar fatwa dari Abu Hanifah meskipun beliau seorang ulama yang sangat pintar.